Rabu, 10 Maret 2010

Demokrasi di Indonesia

Pada dasarnya demokrasi bukan hanya menyangkut sistem politik
ada tingkat negara. lebih dari itu demokrasi juga mecakup kehidupan keseharian masyarakat. Proses demokrasi harus tercermin dalam interaksi antar kelompok dan golongan dalam masyarakat. Pola kehidupan keluarga, bahkan hubungan antar individu harus didasarkan pada sistem demokrasi. Artinya demokratisasi harus dimulai dari ruang terkecil dalam interaksi masyarakat.

Pada tataran individu, struktur relasi kekuasaan juga menentukan esensi dan kualitas demokrasi level di atasnya, yaitu masyarakat dan negara. Proses demokrasi akan berlangsung lebih baik jika setiap individu memiliki engetahuan yang memadai tentang nilai-nilai demokrasi. Kedua tataran inilah yang menentukan karakteristik demokrasi modern, yang oleh Huntington disebut sebagai demokrasi yang mendasarkan pada negara-kebangsaan.


Demokrasi di Indonesia:
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, UUD 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan PDI-P sebagai pemenang Pemilu.


Wejangan Gus Dur menjelang wafat:
Sebagai tokoh pendiri Forum Demokrasi Gus Dur merupakan seorang pejuang demokrasi yang sangat konsisten. Ia mencita-citakan terciptanya tatanan masyarakat dunia yang dapat saling berdiri sejajar tanpa harus terdistorsi oleh ruang-ruag kesukuan maupun keagamaan. Di sini pandangannya menjadi menarik mengingat ia adalah juga seorang tokoh agama terkemuka, pemimpin lima puluh juta penganut agama yang sangat fanatik dan cenderung singkretis.

Peraih Ramon Magsaysay ini tentunya hafal di luar kepala bahwa Rasulullah pernah menyatakan "Islam unggul dan tidak dapat diungguli", namun ia menolak angapan Islam tidak memerlukan pandangan dari luar untuk mengatur kehidupan karena dapat berarti pihak luar mempunyai keunggulan melebihi
Islam. Ia berpendapat keunggulan Islam terletak pada kemampuannya menerima nilai-nilai dari "luar" Islam. Nilai-nilai "luar" inilah yang pada gilirannya dapat mengembangkan gagasan Islam tentang pelbagai bidang kehidupan.

Gus Dur menerjemahkan demokrasi dari sisi historis dan menghadapkannya dengan dua pilihan model, "Barat" dan kuno. Model "Barat" berdampak hilangnya jati diri ketimuran bangsa Indonesia karena model ini lebih mementingkan pencapaian kebebasan individu dan masyarakat secara penuh. Sementara strategi kuno menghambat aspirasi masyarakat sebagai pihak yang seharusnya memegang kedaulatan karena bentuk ini berkecenderungan menyerahkan segala-galanya kepada penguasa.

Dengan mengamati kelemahan dua model yang saling bertolak belakang itu Gus Dur mengajukan solusi yang disebutnya sebagai "strategi ketiga". Jalan tengah dari dua kontradiksi ini diyakininya efektif mengiringi rekonsiliasi bangsa dan akan mampu menutup "babak kelam" bangsa Indonesia secara parsial. Demokratisasi diharapkannya dapat berjalan semestinya dengan
menghentikan tuntutan-tuntutan yang melanggar kepentingan orang banyak.

Bila dibandingkan dengan konsep Teo-demokrasi milik al Maududi, tampak bahwa jalan tengah yang ditawarkan Gus Dur memberikan harapan positif bila diterapkan di Indonesia. Masyarakat Nusantara dengan pluralitasnya mempunyai watak mudah melupakan hal-hal yang telah berlalu. Ciri dominan masyarakat jenis ini cenderung menyukai hal-hal aktual. Guna mensiasati kecenderungan ini Gus Dur telah mempersiapkan konsep negara maritim sebagai pengganti basis ekonomi agraris. Sistem yang dimulai oleh Sultan Agung saat memimpin Mataram dirasakannya sebagai sistem mandul. Terbukti kegagalan Mataram menyerang Batavia karena menyia-nyiakan wilayah laut.

Teo-demokrasi merupakan penggabungan antara demokrasi an-sich dengan sistem politik Islam. Di negara asalnya sendiri sistem ini kurang mendapat angin karena pada dasarnya sistem ini hanya mensyaratkan legitimasi masyarakat muslim kepada pemerintah atas pelbagai kebijakan publik, tanpa pernah memberi kesempatan kepada masyarakat secara umum untuk bersaing secara terbuka dalam konstelasi politik publik. Pakistan sebagai negara Islam selalu diwarnai persengketaan politik yang berujung pada pertumpahan darah dan kudeta militer.

Sementara itu Gus Dur sangat menyadari bahwa gagasannya akan menuai banyak kritikan. Bagi bangsa-bangsa yang telah lama merdeka dan mampu menerapkan sistem demokrasi secara penuh, akan menganggap gagasan ini sebagai demokrasi yang setengah-setengah. Menurutnya respon semacam ini tidak perlu ditanggapi dengan respon "keras". Pengalaman berbeda setiap bangsa mengharuskan masing-masing bangsa menempuh cara yang berbeda dalam mengapresiasi dan mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bernegara.

Indonesia meskipun bukan "negara agama" namun nilai-nilai normatif agama telah menjadi satu tarikan nafas dengan dinamika penduduknya. Walaupun dalam banyak hal demokrasi bertentangan dengan agama, tetap terdapat titik singgung yang mempertemukan antara keduanya. Baik agama maupun demokrasi sama-sama menginginkan terciptanya keselarasan hidup manusia dalam suatu tatanan yang saling menghormati. Perbedaan mendasar adalah bahwa agama memiliki klaim absolut atas kebenaran yang didasarkan pada sumber Kitab Suci.

Sementara demokrasi tidak mengharuskan adanya koridor paten nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya kebenaran agama seringkali bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, sehingga terciptalah sekat antara agama dan demokrasi.

Untuk menyiasati kenyataan ini Gus Dur mencoba mengadakan transformasi nilai-nilai agama. Selanjutnya agama akan meneruskan tranformasinya ke wilayah ekstern. Upaya yang ditempuh adalah mengubah komitmen agama dari hanya bersandar pada teks normatif kepada kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya Gus Dur berusaha untuk mempertemukan nilai-nilai keyakinan antar agama di Indonesia dalam satu titik perjuangan martabat manusia. Ia berusaha menundukkan keyakinan masing-masing agama dalam sebuah tataran baru hubungan antaragama, yang dapat diwujudkan dalam bentuk pelayanan kemanusiaan.

Agama menurutnya akan dapat selaras dengan demokrasi jika memiliki watak membebaskan. Islam hadir ke dunia untuk membebaskan manusia dari belenggu "Jahiliyah". Islam memberi kebebasan kepada umatnya untuk berkreasi menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Agama apapun sama-sama mengemban misi perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat. Dengan tegas Al-Qur'an menegaskan bahwa Muhammad diutus ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Membangun kesejahteraan semesta, bukan menindas bangsa-bangsa.

Titik temu antara agama dan demokrasi inilah yang menurut Gus Dur harus dikedepankan dalam membangan Indonesia masa mendatang. ..potensi nalar agama akan sanggup menopang perjuangan penegakan demokrasi di Nusantara. Sehingga pada gilirannya proses demokratisasi tidak akan kehilangan ruh ketuhanannya. Tidak terjebak dalam budaya menyimpang semacam hedonisme dan metrealisme.

Semua orang tentu menyadari bahwa tidak mudah mewujudkan demokrasi. Jack Snyder bahkan menggambarkan satu kekuatiran atas gagalnya proses demokratisasi dengan terjadinya conflict nationalist (konflik nasionalis). Ia menawarkan resep yang menurutnya mampu menenggang perbedaan dan mengandorkan ketegangan antar kelompok yang saling berebut kekuasaan dalam suatu wadah demokrasi. "Doktrin bahwa sejumlah orang yang menganggap diri mereka berbeda karena budaya, sejarah lembaga-lembaga atau prinsip mereka, seharusnyalah memerintah diri sendiri dalam suatu sistem politik yang mencerminkan dan melindungi perbedan itu."


Hebatnya Demokrasi kita:
KPU pusat menyatakan KPU daerah tidak berhak menolak pencalonan gubernur dan wakil gubernur yang berstatus tersangka dan mantan narapidana (napi) sepanjang memenuhi aturan dan syarat pencalonan dengan lengkap.

Hal itu dikatakan oleh Ketua Koordinasi Kelompok Kerja (Pokja) Pilkada Nasional dan Ketua Divisi Hukum KPU Pusat I Gusti Putu Artha, Jumat (19/2) sore, saat sosialisasi Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri 2010 di Batam. "Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mantan narapidana yang pernah dipenjara dengan masa hukuman minimal 5 tahun diperkenankan mengikuti pilkada. Sepanjang memenuhi aturan dan syarat pencalonan lengkap, maka KPU daerah tidak mempunyai hak menolak pencalonan mereka," katanya.

Syarat-syarat bagi calon yang tersandung pada kedua masalah di atas untuk dapat mengikuti pilkada antara lain mantan narapidana mesti melampirkan surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan (Lapas) bersangkutan, harus melampirkan surat keterangan dan kliping koran yang berisi pengakuan bahwa ia adalah mantan narapidana, harus melampirkan surat keterangan dari kepolisian setempat yang menjelaskan atau menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak pernah lagi melakukan kesalahan yang sama dan berulang-ulang.

Di tempat terpisah, Ketua KPUD Kepri Dean Yealta mengatakan calon gubernur yang bersatus sebagai tersangka dengan kasus korupsi diperkenankan mengajukan dan dicalonkan sepanjang kasus yang melilitnya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyebabkan sang calon berhalangan tetap. "Dalam pertemuan dengan KPU pusat, kami mendapatkan beberapa poin antara lain bagi calon kepala daerah yang berstatus sebagai tersangka dan kasusnya masih dalam proses hukum, maka dia harus siap dengan beberapa konsekuensi politis sehubungan dengan pencalonan tersebut," katanya kepada Media Indonesia.

Konsekuensi politis itu seperti jika dalam masa tahapan pendaftaran calon yang bersangkutan diputus pengadilan sebagai terpidana dan dipenjara, maka pencalonannya bisa dianulir dan partai atau koalisi partai yang mencalonkan atau mengusungnya dapat menggantikannya dengan calon yang lain. Selain itu, jika calon yang berstatus sebagai tersangka di masa tahapan penetapan pasangan dan nomor urut menerima putusan pengadilan yang bersifat inkracht atau berkekuatan hukum tetap dinyatakan bersalah dan dipenjara, maka calon gubernur dan pasangannya tidak diperkenankan mengikuti pilkada dan tidak dapat digantikan dengan pasangan lain.

Namun, apabila calon yang bersatus tersangka keluar sebagai pemenang dalam pilkada dan diangkat serta dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur. Lalu saat itu keluar putusan pengadilan yang memiliki hukum tetap sehingga berhalangan, maka yang bersangkutan nantinya harus mundur dari jabatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar